Senin, 19 April 2010

legenda candi prambanan


alkisah, pada dahulu kala terdapat sebuah kerajaan besar yang bernama Prambanan. Rakyatnya hidup tenteran dan damai. Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Kerajaan Prambanan diserang dan dijajah oleh negeri Pengging. Ketentraman Kerajaan Prambanan menjadi terusik. Para tentara tidak mampu menghadapi serangan pasukan Pengging. Akhirnya, kerajaan Prambanan dikuasai oleh Pengging, dan dipimpin oleh Bandung Bondowoso.

Bandung Bondowoso seorang yang suka memerintah dengan kejam. “Siapapun yang tidak menuruti perintahku, akan dijatuhi hukuman berat!”, ujar Bandung Bondowoso pada rakyatnya. Bandung Bondowoso adalah seorang yang sakti dan mempunyai pasukan jin. Tidak berapa lama berkuasa, Bandung Bondowoso suka mengamati gerak-gerik Loro Jonggrang, putri Raja Prambanan yang cantik jelita. “Cantik nian putri itu. Aku ingin dia menjadi permaisuriku,” pikir Bandung Bondowoso.

Esok harinya, Bondowoso mendekati Loro Jonggrang. “Kamu cantik sekali, maukah kau menjadi permaisuriku ?”, Tanya Bandung Bondowoso kepada Loro Jonggrang. Loro Jonggrang tersentak, mendengar pertanyaan Bondowoso. “Laki-laki ini lancang sekali, belum kenal denganku langsung menginginkanku menjadi permaisurinya”, ujar Loro Jongrang dalam hati. “Apa yang harus aku lakukan ?”. Loro Jonggrang menjadi kebingungan. Pikirannya berputar-putar. Jika ia menolak, maka Bandung Bondowoso akan marah besar dan membahayakan keluarganya serta rakyat Prambanan. Untuk mengiyakannya pun tidak mungkin, karena Loro Jonggrang memang tidak suka dengan Bandung Bondowoso.

“Bagaimana, Loro Jonggrang ?” desak Bondowoso. Akhirnya Loro Jonggrang mendapatkan ide. “Saya bersedia menjadi istri Tuan, tetapi ada syaratnya,” Katanya. “Apa syaratnya? Ingin harta yang berlimpah? Atau Istana yang megah?”. “Bukan itu, tuanku, kata Loro Jonggrang. Saya minta dibuatkan candi, jumlahnya harus seribu buah. “Seribu buah?” teriak Bondowoso. “Ya, dan candi itu harus selesai dalam waktu semalam.” Bandung Bondowoso menatap Loro Jonggrang, bibirnya bergetar menahan amarah. Sejak saat itu Bandung Bondowoso berpikir bagaimana caranya membuat 1000 candi. Akhirnya ia bertanya kepada penasehatnya. “Saya percaya tuanku bias membuat candi tersebut dengan bantuan Jin!”, kata penasehat. “Ya, benar juga usulmu, siapkan peralatan yang kubutuhkan!”

Setelah perlengkapan di siapkan. Bandung Bondowoso berdiri di depan altar batu. Kedua lengannya dibentangkan lebar-lebar. “Pasukan jin, Bantulah aku!” teriaknya dengan suara menggelegar. Tak lama kemudian, langit menjadi gelap. Angin menderu-deru. Sesaat kemudian, pasukan jin sudah mengerumuni Bandung Bondowoso. “Apa yang harus kami lakukan Tuan ?”, tanya pemimpin jin. “Bantu aku membangun seribu candi,” pinta Bandung Bondowoso. Para jin segera bergerak ke sana kemari, melaksanakan tugas masing-masing. Dalam waktu singkat bangunan candi sudah tersusun hampir mencapai seribu buah.

Sementara itu, diam-diam Loro Jonggrang mengamati dari kejauhan. Ia cemas, mengetahui Bondowoso dibantu oleh pasukan jin. “Wah, bagaimana ini?”, ujar Loro Jonggrang dalam hati. Ia mencari akal. Para dayang kerajaan disuruhnya berkumpul dan ditugaskan mengumpulkan jerami. “Cepat bakar semua jerami itu!” perintah Loro Jonggrang. Sebagian dayang lainnya disuruhnya menumbuk lesung. Dung… dung…dung! Semburat warna merah memancar ke langit dengan diiringi suara hiruk pikuk, sehingga mirip seperti fajar yang menyingsing.

Pasukan jin mengira fajar sudah menyingsing. “Wah, matahari akan terbit!” seru jin. “Kita harus segera pergi sebelum tubuh kita dihanguskan matahari,” sambung jin yang lain. Para jin tersebut berhamburan pergi meninggalkan tempat itu. Bandung Bondowoso sempat heran melihat kepanikan pasukan jin.

Paginya, Bandung Bondowoso mengajak Loro Jonggrang ke tempat candi. “Candi yang kau minta sudah berdiri!”. Loro Jonggrang segera menghitung jumlah candi itu. Ternyata jumlahnya hanya 999 buah!. “Jumlahnya kurang satu!” seru Loro Jonggrang. “Berarti tuan telah gagal memenuhi syarat yang saya ajukan”. Bandung Bondowoso terkejut mengetahui kekurangan itu. Ia menjadi sangat murka. “Tidak mungkin…”, kata Bondowoso sambil menatap tajam pada Loro Jonggrang. “Kalau begitu kau saja yang melengkapinya!” katanya sambil mengarahkan jarinya pada Loro Jonggrang. Ajaib! Loro Jonggrang langsung berubah menjadi patung batu. Sampai saat ini candi-candi tersebut masih ada dan disebut Candi Loro Jonggrang. Karena terletak di wilayah Prambanan, Jawa Tengah, Candi Loro Jonggrang dikenal sebagai Candi Prambanan

asal mula danau toba


Di Sumatera Utara terdapat danau yang sangat besar dan ditengah-tengah danau tersebut terdapat sebuah pulau. Danau itu bernama Danau Toba sedangkan pulau ditengahnya dinamakan Pulau Samosir. Konon danau tersebut berasal dari kutukan dewa.

Di sebuah desa di wilayah Sumatera, hidup seorang petani. Ia seorang petani yang rajin bekerja walaupun lahan pertaniannya tidak luas. Ia bisa mencukupi kebutuhannya dari hasil kerjanya yang tidak kenal lelah. Sebenarnya usianya sudah cukup untuk menikah, tetapi ia tetap memilih hidup sendirian. Di suatu pagi hari yang cerah, petani itu memancing ikan di sungai. “Mudah-mudahan hari ini aku mendapat ikan yang besar,” gumam petani tersebut dalam hati. Beberapa saat setelah kailnya dilemparkan, kailnya terlihat bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya. Petani itu bersorak kegirangan setelah mendapat seekor ikan cukup besar.

Ia takjub melihat warna sisik ikan yang indah. Sisik ikan itu berwarna kuning emas kemerah-merahan. Kedua matanya bulat dan menonjol memancarkan kilatan yang menakjubkan. “Tunggu, aku jangan dimakan! Aku akan bersedia menemanimu jika kau tidak jadi memakanku.” Petani tersebut terkejut mendengar suara dari ikan itu. Karena keterkejutannya, ikan yang ditangkapnya terjatuh ke tanah. Kemudian tidak berapa lama, ikan itu berubah wujud menjadi seorang gadis yang cantik jelita. “Bermimpikah aku?,” gumam petani.

“Jangan takut pak, aku juga manusia seperti engkau. Aku sangat berhutang budi padamu karena telah menyelamatkanku dari kutukan Dewata,” kata gadis itu. “Namaku Puteri, aku tidak keberatan untuk menjadi istrimu,” kata gadis itu seolah mendesak. Petani itupun mengangguk. Maka jadilah mereka sebagai suami istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar maka akan terjadi petaka dahsyat.

Setelah sampai di desanya, gemparlah penduduk desa melihat gadis cantik jelita bersama petani tersebut. “Dia mungkin bidadari yang turun dari langit,” gumam mereka. Petani merasa sangat bahagia dan tenteram. Sebagai suami yang baik, ia terus bekerja untuk mencari nafkah dengan mengolah sawah dan ladangnya dengan tekun dan ulet. Karena ketekunan dan keuletannya, petani itu hidup tanpa kekurangan dalam hidupnya. Banyak orang iri, dan mereka menyebarkan sangkaan buruk yang dapat menjatuhkan keberhasilan usaha petani. “Aku tahu Petani itu pasti memelihara makhluk halus! ” kata seseorang kepada temannya. Hal itu sampai ke telinga Petani dan Puteri. Namun mereka tidak merasa tersinggung, bahkan semakin rajin bekerja.

Setahun kemudian, kebahagiaan Petani dan istri bertambah, karena istri Petani melahirkan seorang bayi laki-laki. Ia diberi nama Putera. Kebahagiaan mereka tidak membuat mereka lupa diri. Putera tumbuh menjadi seorang anak yang sehat dan kuat. Ia menjadi anak manis tetapi agak nakal. Ia mempunyai satu kebiasaan yang membuat heran kedua orang tuanya, yaitu selalu merasa lapar. Makanan yang seharusnya dimakan bertiga dapat dimakannya sendiri.

Lama kelamaan, Putera selalu membuat jengkel ayahnya. Jika disuruh membantu pekerjaan orang tua, ia selalu menolak. Istri Petani selalu mengingatkan Petani agar bersabar atas ulah anak mereka. “Ya, aku akan bersabar, walau bagaimanapun dia itu anak kita!” kata Petani kepada istrinya. “Syukurlah, kanda berpikiran seperti itu. Kanda memang seorang suami dan ayah yang baik,” puji Puteri kepada suaminya.

Memang kata orang, kesabaran itu ada batasnya. Hal ini dialami oleh Petani itu. Pada suatu hari, Putera mendapat tugas mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi Putera tidak memenuhi tugasnya. Petani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Ia langsung pulang ke rumah. Di lihatnya Putera sedang bermain bola. Petani menjadi marah sambil menjewer kuping anaknya. “Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri ! Dasar anak ikan !,” umpat si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan itu.

Setelah petani mengucapkan kata-katanya, seketika itu juga anak dan istrinya hilang lenyap. Tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras dan semakin deras. Desa Petani dan desa sekitarnya terendam semua. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba. Sedangkan pulau kecil di tengahnya dikenal dengan nama Pulau Samosir.

asal usul nama betawi


Istilah Betawi muncul dipastikan setelah Pemerintah Kolonial Belanda mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia. Kata ‘betawi’ adalah pengucapan masyarakat lokal dari kata ‘batavia’ tersebut. Betawi dikenal menjadi nama kaum atau komunitas setidaknya sejak M.H. Thamrin mendirikan perkumpulan Kaum Betawi pada tahun 1918. Saat ini, masyarakat umum mengenal Betawi sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia.

Banyak yang percaya bahwa orang Betawi adalah ‘suku’ yang masih muda, yang baru terbentuk pada waktu terkemudian. Pandangan seperti ini disebut--meminjam istilah Ridwan Saidi--pandangan ‘Kali Besar sentris’. Studi Masyarakat Jakarta (Betawi) yang Kali Besar sentries sebagai berikut : Pieterszon Coen pada tahun 1619 menaklukkan Jayakarta. Seluruh penduduk diusir, lantas budak-budak didatangkan, dan budak inilah yang kemudian menjadi cikal bakal orang Betawi. Pandangan Kali Besar sentries ini dibantah oleh pakar kebetawian, Ridwan Saidi, pada temu ilmiah Festival Istiqlal II tahun 1996. Ridwan Saidi mengungkapkan keberadaan komunitas asli yang mendiami berbagai daerah di kawasan yang kini bernama Jakarta jauh sebelum kedatangan Belanda di abad ke-16, dan tidak termasuk mereka yang ‘terusir’ pada masa Pieterszon Coen tersebut. Mereka yang terusir menurut Ridwan Saidi, hanyalah kaum menak bangsawan yang memang secara politis memang membahayakan eksistensi kaum penjajah.

Keberadaan masyarakat lampau (kala itu masih sebagai bagian masyarakat Sunda) yang mendiami daerah yang kini disebut Jakarta itu dikuatkan dengan penemuan berbagai prasasti peninggalan kerajaan Tarumanegara yang telah berdiri pada awal-awal tarukh masehi, misalnya prasasti Tugu. Bahkan Prof. Slamet Muljana melaporkan penemuan kapak genggam peninggalan jaman neolithicum di daerah Condet. Pada buku Sejarah Nasional Indonesia III (editor umum: Marwati Djuned Puspanagoro dan Nugroho Notosusanto) dituliskan bahwa orang Belanda yang datang pertama kali tahun 1596 telah mendapati banyak para pencari ikan di daerah Kalapa (kini wilayah Jakarta Utara). Hikayat Banjar menyebutkan bahwa penduduk Jayakarta (sebelum berubah nama menjadi Batavia) berkisar antara 12.000 hingga 15.000 orang. Ridwan Saidi dalam makalah Masyarakat Betawi: Asal-usul, dan Peranannya dalam Integrasi Nasional (1996) menuliskan bahwa ketika kerajaan Sunda mendirikan pelabuhan Sunda Kalapa pada abad ke-12, di Kalapa sudah ada penduduk asli; pada peta-peta yang dibuat Inggris tahun 1811 terlihat dengan jelas petak-petak sawah terbentang luas mulai dari Sawah Besar (daerah Lapangan Banteng) sampai Ulu Jami, petak-petak sawah itu telah mapan sejak berabad-abad sebelumnya. Demikianlah asal-usul orang Betawi yang bermula dari komunitas di Kalapa, yang awalnya merupakan bagian dari masyarakat Sunda.

Asimilasi berbagai budaya Nusantara bahkan dunia lambat laun melunturkan budaya Sunda masyarakat Kalapa, dan melahirkan bentuk budaya baru yang bercorak Melayu Polinesia (Melayu Borneo) yang terpengaruh oleh budaya Arab dan Tiongkok. Budaya bercorak Melayu Polinesia plus Arab dan Tingkok inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai budaya Betawi, dan bahasa Melayu Polinesia berdialek lokal menjadi bahasa Betawi.

Pengaruh budaya dan bahasa Betawi terus meluas ke selatan hingga daerah Tangerang, Bekasi, Depok, dan bagian utara Bogor. Lambat laun, daerah-daerah di selatan tersebut pun menjadi bagian wilayah ‘orang Betawi’. Maka benarlah pendapat ahli bahwa batas bahasa menjadi batas pula bagi budaya. Betawi yang bercikal di Kalapa (Jakarta Utara) kini memiliki batas wilayah yang lebih luas dari DKI Jakarta.

Menyebaran budaya dan bahasa Betawi (bahkan agama) hingga jauh ke selatan terutama akibat ekspansi tentara Islam koalisi Banten, Cirebon, dan Demak (Pajang?) yang menyerbu kerajaan Pajajaran pada abad ke-17. Konon, tentara koalisi membangun wilayah pertahanan di daerah selatan (Tangerang, Depok, Bekasi, dan bagian Utara Bogor) sebelum menyerbu masuk ke Ibukota kerajaan Pajajaran. Kemudian tentara Islam koalisi Banten, Cirebon, dan Demak tersebut banyak yang melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal.

Semua informasi ini membuktikan bahwa ‘suku’ Betawi bukanlah komunitas yang baru terbentuk. Adapun, karakteristik orang Betawi hingga ke bentuknya yang sekarang, tidak lepas dari sejarah panjangnya menjadi ‘daerah niaga’ sehingga terjadi asimilasi budaya dari berbagai bangsa di Nusantara dan dunia, baik melalui hubungan perdagangan, hubungan pergaulan, maupun melalui perkawinan.