Senin, 19 April 2010

asal usul nama betawi


Istilah Betawi muncul dipastikan setelah Pemerintah Kolonial Belanda mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia. Kata ‘betawi’ adalah pengucapan masyarakat lokal dari kata ‘batavia’ tersebut. Betawi dikenal menjadi nama kaum atau komunitas setidaknya sejak M.H. Thamrin mendirikan perkumpulan Kaum Betawi pada tahun 1918. Saat ini, masyarakat umum mengenal Betawi sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia.

Banyak yang percaya bahwa orang Betawi adalah ‘suku’ yang masih muda, yang baru terbentuk pada waktu terkemudian. Pandangan seperti ini disebut--meminjam istilah Ridwan Saidi--pandangan ‘Kali Besar sentris’. Studi Masyarakat Jakarta (Betawi) yang Kali Besar sentries sebagai berikut : Pieterszon Coen pada tahun 1619 menaklukkan Jayakarta. Seluruh penduduk diusir, lantas budak-budak didatangkan, dan budak inilah yang kemudian menjadi cikal bakal orang Betawi. Pandangan Kali Besar sentries ini dibantah oleh pakar kebetawian, Ridwan Saidi, pada temu ilmiah Festival Istiqlal II tahun 1996. Ridwan Saidi mengungkapkan keberadaan komunitas asli yang mendiami berbagai daerah di kawasan yang kini bernama Jakarta jauh sebelum kedatangan Belanda di abad ke-16, dan tidak termasuk mereka yang ‘terusir’ pada masa Pieterszon Coen tersebut. Mereka yang terusir menurut Ridwan Saidi, hanyalah kaum menak bangsawan yang memang secara politis memang membahayakan eksistensi kaum penjajah.

Keberadaan masyarakat lampau (kala itu masih sebagai bagian masyarakat Sunda) yang mendiami daerah yang kini disebut Jakarta itu dikuatkan dengan penemuan berbagai prasasti peninggalan kerajaan Tarumanegara yang telah berdiri pada awal-awal tarukh masehi, misalnya prasasti Tugu. Bahkan Prof. Slamet Muljana melaporkan penemuan kapak genggam peninggalan jaman neolithicum di daerah Condet. Pada buku Sejarah Nasional Indonesia III (editor umum: Marwati Djuned Puspanagoro dan Nugroho Notosusanto) dituliskan bahwa orang Belanda yang datang pertama kali tahun 1596 telah mendapati banyak para pencari ikan di daerah Kalapa (kini wilayah Jakarta Utara). Hikayat Banjar menyebutkan bahwa penduduk Jayakarta (sebelum berubah nama menjadi Batavia) berkisar antara 12.000 hingga 15.000 orang. Ridwan Saidi dalam makalah Masyarakat Betawi: Asal-usul, dan Peranannya dalam Integrasi Nasional (1996) menuliskan bahwa ketika kerajaan Sunda mendirikan pelabuhan Sunda Kalapa pada abad ke-12, di Kalapa sudah ada penduduk asli; pada peta-peta yang dibuat Inggris tahun 1811 terlihat dengan jelas petak-petak sawah terbentang luas mulai dari Sawah Besar (daerah Lapangan Banteng) sampai Ulu Jami, petak-petak sawah itu telah mapan sejak berabad-abad sebelumnya. Demikianlah asal-usul orang Betawi yang bermula dari komunitas di Kalapa, yang awalnya merupakan bagian dari masyarakat Sunda.

Asimilasi berbagai budaya Nusantara bahkan dunia lambat laun melunturkan budaya Sunda masyarakat Kalapa, dan melahirkan bentuk budaya baru yang bercorak Melayu Polinesia (Melayu Borneo) yang terpengaruh oleh budaya Arab dan Tiongkok. Budaya bercorak Melayu Polinesia plus Arab dan Tingkok inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai budaya Betawi, dan bahasa Melayu Polinesia berdialek lokal menjadi bahasa Betawi.

Pengaruh budaya dan bahasa Betawi terus meluas ke selatan hingga daerah Tangerang, Bekasi, Depok, dan bagian utara Bogor. Lambat laun, daerah-daerah di selatan tersebut pun menjadi bagian wilayah ‘orang Betawi’. Maka benarlah pendapat ahli bahwa batas bahasa menjadi batas pula bagi budaya. Betawi yang bercikal di Kalapa (Jakarta Utara) kini memiliki batas wilayah yang lebih luas dari DKI Jakarta.

Menyebaran budaya dan bahasa Betawi (bahkan agama) hingga jauh ke selatan terutama akibat ekspansi tentara Islam koalisi Banten, Cirebon, dan Demak (Pajang?) yang menyerbu kerajaan Pajajaran pada abad ke-17. Konon, tentara koalisi membangun wilayah pertahanan di daerah selatan (Tangerang, Depok, Bekasi, dan bagian Utara Bogor) sebelum menyerbu masuk ke Ibukota kerajaan Pajajaran. Kemudian tentara Islam koalisi Banten, Cirebon, dan Demak tersebut banyak yang melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal.

Semua informasi ini membuktikan bahwa ‘suku’ Betawi bukanlah komunitas yang baru terbentuk. Adapun, karakteristik orang Betawi hingga ke bentuknya yang sekarang, tidak lepas dari sejarah panjangnya menjadi ‘daerah niaga’ sehingga terjadi asimilasi budaya dari berbagai bangsa di Nusantara dan dunia, baik melalui hubungan perdagangan, hubungan pergaulan, maupun melalui perkawinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar